Relationshit #1: Teori Siklus dalam Pacaran
- sweet&sin

- 9 Jan 2021
- 4 menit membaca
Diperbarui: 13 Agu 2022

Eugene Janson (1862-1915)
Lo punya pacar nggak sih?
Eh, gak gini ya urutannya? Perlu basa basi dulu? Ok.
Ehem…
1
2
3
HAI, FELLAS! HOW’S YOUR DAY? IS IT GOO-
-Dahlah.
Udah basa basinya, gue lagi migrain. So, gue kali ini mau bahas tentang relationship nih. Tapi, relationship yang akan gue kupas kali ini terkhusus pada ‘pacaran’. Pada dasarnya pacaran adalah-bentar ya gue mau browsing dulu-.
Jadi, dikutip dari portal berita kompas.com (29/11/2016), “Definisi pacaran saat ini mungkin berubah dibandingkan 20 tahun lalu. Adalah normal bila seorang anak muda jaman sekarang sedang dekat dengan enam orang sekaligus.”…..bentar-bentar…. EH BUSET! Ini nggak gue edit edit ya! emang begitu kata Kompas.
Perlu gue cariin definisi lain?
Nggak usah lah ya, kita pake definisi yang sudah ada diotak mulia kita masing-masing aja.
Oke. So, seperti yang sudah kita ketahui, pacaran secara umum dapat didefinisikan sebagai dua (atau lebih, hehe. canda) individu dimana kedua belah pihak menemukan kesamaan atau kecocokan atas suatu hal yang kemudian menimbulkan ketertarikan antara satu sama lain sehingga dapat dicapainya kesepakatan antar masing-masing pihak untuk menjalankan hubungan romantis bersama dalam periode yang tidak ditentukan. Definisi ini berdasarkan pemikiran gue pribadi, mungkin tidak sepenuhnya benar atau mungkin juga tidak sama dengan persepsi yang kalian punya.
Gue yakin banyak dari kalian pernah dalam situasi dimana lo merasakan banyak emosi absurd yang menjalar di dada kemudian entah sial atau beruntungnya, hormon Phenyl Etil Amine dan dopamine akan menjalankan aksinya sehingga menimbulkan efek euphoria tak tertahankan, and then we called those strange thing as a ‘falling in love’. Dan falling in love adalah salah satu unsur pembangun dalam sebuah hubungan selain kejujuran, pemahaman, komunikasi, kepercayaan, saling menghormati, privasi, pengorbanan dan loyalitas. Ya, sebanyak itu. Atau mungkin yang rada miris, pasti ada momen dalam hidup lo dimana lo nemenin sohib lo dari mulai saat dia suka-sukaan, sampe putus dan galau mampus. Yang jelas, pasti akan ada saatnya kita terjebak dalam situasi yang melibatkan emosi absurd akibat dari permainan hormon ini, baik dari diri kita ataupun orang lain.
Is it normal? It is.
Apakah akan selalu jadi menggelikan seperti yang sudah-sudah? Melihat seseorang atau bahkan diri kita sendiri nangis nggak jelas, senyum-senyum depan ponsel, memaksimalkan kreativitas dan waktu untuk stalking atau menciptakan panggilkan sayang, atau bahkan doing PDA? Probably ….(Maybe not) Hanya Tuhan yang tahu.
Tapi banyak juga yang bilang “Gue kalo sampe pacaran, nggak akan menggelikan kaya gitu” but in the end, they did. Jadi gue juga nggak tahu pasti nih apa memang efek jatuh cinta-pacaran segini dahsyatnya sampe orang-orang seperti salah minum obat dan melupakan segala prinsip dan image keren yang mereka punya?. Meski demikian, ada juga sih pasangan-pasangan keren yang tetep lowkey, nggak ngikut ‘mabok’ kaya lainnya. Just keep it simple but sweet, nggak aneh-aneh, but still seems like they’re taking so much care for each other.
Ngomongin soal pacaran, menurut gue dunia itu lucu, nggak sulit buat tahu banyak alur cerita. Dengan lo sering nonton film, baca buku, atau dengerin curhatan temen, intuisi lo bakal menggiring lo buat memetakan peristiwa. Yang dalam hal ini adalah kisah ‘cinta’ seseorang. Lo nggak perlu jenius tingkat Einstein buat tahu alurnya, dan memetakan insiden-insiden yang akan terjadi selanjutnya, saking banyaknya dan terus berulang. Bukan maksudnya mendahului Tuhan, tapi menurut teori siklus dalam ilmu Sosiologi, apa yang terjadi di masa kini dapat memiliki kesamaan atau kemiripan dengan apa yang telah terjadi di masa lampau, layaknya spiral. Ada peristiwa-peristiwa tertentu yang seringkali terjadi berulang-ulang pada periode lain dan tentunya dapat kita pelajari.
Sedikit mengutip dari buku berjudul 'Zaman Edan Ranggawarsita' tulisan Agus Wahyudi, semua hal yang terjadi pada masa lampau memiliki pola yang sama dengan semua yang terjadi pada saat ini. sejarah bukan sekedar ingatan nostalgia tentang masa lalu, bukan kekadar ingatan kejayaan agar bisa percaya diri, atau ingatan keterpurukan leluhur agar bisa mawas diri. bukans ekadar itu, sejarah adalah pelajaran hidup untuk diambil hikmah darinya, selanjutnya menjadi pedoman hidup agar tidak mengulangi kesalahan seperti yang dilakukan orang-orang terdahulu. yang buruk dari masa lalu dibuang dan yang baik dari masa lalu ditiru.
Gue kasih contoh, misalnya saja, saat teman lo menceritakan tentang pacarnya yang selalu mengungkit mantan kekasih teman lo dan membanding-bandingkan dengan dirinya sendiri setiap kali memulai obrolan. Secara kasat mata kita tahu bahwa pacar dari si temen lo ini ada kecenderungan insekuritas (jika dia merasa kurang dibanding sang mantan) atau narsistik (apabila dia menilai dirinya lebih tinggi dibanding sang mantan) dan ingin mendapat sedikit pujian dari temen lo a.k.a sang pacar meski tidak terlalu kentara. Dan jangan salah, hal ini dapat menimbulkan trust issue-galau. Mungkin awalnya ada pada diri salah satu pihak yaitu pacar temen lo, tapi jika dibiarkan terus-menerus bisa jadi akan menjalar ke pihak yang lainnya, temen lo. Hal ini menjadi salah satu indikator betapa rentannya hubungan pacaran yang mereka jalani, meski pendapat ini tidak 100% benar. Dan seperti yang sudah sudah, jika terdapat gangguan atau bahkan sampai kehilangan elemen trust dalam suatu hubungan, akan timbul kecurigaan dari satu pihak ke pihak lain, lalu salah satu atau kedua belah pihak merasa lelah dan bosan dengan situasi yang masih stuck dalam permasalahan yang sama, they're both not going anywhere. Tidak memungkiri bahwa secara naluriah manusia akan mengejar kenyamanan yang tidak mereka miliki pada diri orang lain. And you know what’s gonna happen.
Tidak sedikit hubungan selesai akibat terganggunya atau hilangnya kepercayaan dalam suatu hubungan. Jika pun masih bisa bertahan, persentase yang sudah sudah masih cukup kecil atau jarang. Karena elemen trust berakar dari pribadi masing-masing. Jika dari diri kita sudah tidak memiliki kemampuan untuk percaya pada diri sendiri dan kemampuan menanamkan kepercayaan terhadap orang lain, bagaimana kita bisa bekerja sama dalam menjalin hubungan berdua? That’s it. Itu adalah contoh pemetaan yang gue maksud diatas. Jadi jika lo ngerasa ada sesuatu yang kurang tepat, lo mungkin perlu untuk tahu gejala-gejalanya dan tentunya kemungkinan yang sekiranya dapat terjadi akibat dari hal tersebut, sehingga bisa dilakukan pengambilan keputusan dan tindakan untuk meminimalisir kemungkinan buruk terjadi.
Mungkin sebenarnya setiap orang memiliki sense ability untuk membaca atau memetakan peristiwa yang terjadi, hanya saja apabila diri kita sendiri yang menjadi pusat dalam lingkaran peristiwa tersebut berkemungkinan sulit untuk menggunakan kemampuan kita. Bisa jadi karena ego atau karena otak kita terlalu penuh dengan pemikiran dari pihak lain. Dengan demikian, kita perlu untuk tetap tenang dan memilah-milah apa yang masuk ke otak untuk kemudian kita dapat mencari solusi agar kemungkinan terburuk dari peristiwa yang sedang kita alami tidak terjadi (seperti yang sudah-sudah dimasa lampau).
So, friends, please be smart. Lo harus tahu apa yang lo lakuin akan menimbulkan apa dimasa mendatang, baik untuk yang sedang dalam ikatan pacaran atau tidak. Dan, Stop talking shit.
Itu aja yang gue sampaikan hari ini. See you in the funny papers!





Komentar