Under The Rainbow
- sweet&sin

- 27 Mei 2020
- 4 menit membaca
Diperbarui: 26 Jun 2022
Sleep On The Floor milik The Lumineers sedang mampir di telinga gue saat ngetik ini. Dan selama tiga menit tiga puluh satu detik dalam hidup gue, gue dedikasikan untuk mendengarkan om-om ini dengan kidmat. Hingga sampailah gue pada detik ke lima puluh enam.
Mereka bilang, “We were not born in sin”
Dan tralala, muncul lah ide untuk membahas the rainbow club atau yang kita kenal sebagai LGBT. Emang rada nggak nyabung sama lagu yang gue dengerin sih. Tapi udah lanjut aja.
Pernah nggak terlintas dalam pikiran lo mengenai LGBT? Bukan pada inappropiate way. Just LGBT itself. Gue tahu mungkin lo akan langsung closing tab website gue, karena nggak memungkiri sebagian dari kita akan menganggap ini hal yang nggak seharusnya dibahas. Like our conventional society did, huh?. LGBT memang masih tabu untuk di bahas pada masyarakat tertentu, but its exist, it is a real things. Kita nggak bisa seperti masyarakat kuno yang bersikap seolah nggak tahu. LGBT is a real things.
Gue nggak mau bawa agama tertentu dalam hal ini, gue bukan ahlinya, lets talk as a human being. Gue nggak tahu LGBT they were born with it or not, but the fate guide them into this. Dan menjadi minoritas yang dianggap ‘berbeda’, ‘aneh’, atau bahkan ‘salah’ pasti nggak akan mudah. Gue baca beberapa berita dimana para LGBT melakukan demonstrasi untuk memperoleh hal yang sama dengan ‘straight’ people (that’s what society called for hetero). Washington DC, Los Angeles, Berlin, Tajikistan, Norway, mereka menginginkan hal yang sama. The rights.

Fallen Angel by Alexandre Cabanel (1868)
People should be own their life. Tapi miris rasanya mengetahui bahwa seorang lesbian, gay, bisex, transgender atau queer kesulitan untuk sekedar menjalani hidup mereka sendiri dengan nyaman seperti orang pada umumnya, laugh with their love ones, showing their affection to each other, get a job, dan dihargai sebagaimana layaknya manusia.
Damn, man!
The society (but not all of them) are so cruel, dengan melihat seberapa banyak upaya yang para LGBT lakukan untuk speak up tentang hak mereka, gue yakin pasti karena terlalu banyak penghakiman yang mereka terima. Kalau….hanya kalau society nggak melakukan 'their dirty job', maybe people under the rainbow flag would be just fine with it. With what they had.
Gue pernah baca salah satu portal berita yang memuat kasus pria gay di Greece dan Cameroon yang menjadi korban kekerasan oleh orang-orang ‘homophobic’, mereka di pukuli, di usir, ditelanjangi bahkan di siksa selama berjam-jam. Publicly. How strange and evil!
People face violent attacks and threats simply because of who they are or whom they have sex with.
Apakah ini manusiawi? bahkan untuk seseorang yang ditetapkan bersalah di pengadilan, tidak lantas bisa diperlakukan layaknya bukan manusia. They are human too. Gue yakin, hidup sebagai seorang LBGT nggak mudah, penghakiman yang mereka terima secara langsung ataupun tidak seakan mengutuk mereka menjadi pendosa seumur hidup, tanpa ampun. Apalagi denga adanya perilaku tidak menyenangkan yang mereka terima dari homopobhic. Ini seolah segala hal mengenai seseorang tersisihkan hanya karena dia seorang LGBT. They are LGBT, that’s the point, their kindness, their capabilities, their good behavior nggak lagi diperhitungkan.
Gue mengamini, adanya part dari diri mereka yang tidak ingin menjadi seperti ini, siapa sih yang ingin jadi ‘berbeda’ kalau bisa sama seperti masyarakat lainnya dan nggak menuai kritikan? Everybody loves compliment, but no one ready to be judged. But this is who they are. Kalau bukan mereka yang menerima diri mereka sendiri, siapa lagi?
Pada satu menit lima belas detik pertama lagu Heaven milik Troye Sivan, agaknya sedikit menyentil pandangan gue tentang LGBT.
“Without losing a piece of me, how do I get to heaven?”
“Without changing a part of me, How do I get to heaven?”
Melaui lirik ini Troye Sivan mencoba mengungkapkan gimana menjadi seorang LGBT, menjadi seseorang yang di anggap pendosa bahkan sejak membuka mata, mencoba menerima diri sendiri yang tentunya nggak mudah, dan bertanya-tanya apakah mereka layak untuk sampai ke surga. It's deep.
Kalo lo tanya kenapa LGBT yang kita lihat seperti fine fine aja dengan anything that happened inside, menurut gue jawabannya adalah karena life must go on. Seperti saat lo merasa tersakiti, tidak lantas hidup lo selesai saat itu juga kan? Ada pilihan untuk lo tetap fight dan melanjutkan hidup meski harus membawa luka itu dalam waktu yang lama. It’s a choice. Hidup hanya sekali, we all do our best to fill our life with happiness, meski hidup nggak sepenuhnya tentang senang-senang saja.
Yang coba gue sampaikan disini adalah, kita semua punya sisi manusiawi yang membuat kita pantas disebut manusia. Jangan meniadakan sisi humanis hanya karena seseorang ‘berbeda’ dengan kita dan people under the rainbow flag does exist, they are human too. Be good.
And That’s it. ini pemikiran gue mengenai LGBT, dan lo pasti punya pendapat tersendiri mengenai LGBT. As long as it's good to you and others as human being, I think it's totally okay. So, sampai ketemu di tulisan gue selanjutnya!.
Psstt! I would love to know your stories and thoughts too. Maybe you would love to share it thru my emails or chat box below. DO IT! Okay?.




Komentar