"The Devil You Know" Logic
- sweet&sin

- 2 Okt 2023
- 5 menit membaca
Diperbarui: 5 Okt 2023
There’ll be situations in this life where the people that we love are not the victims, they are the people that inflicting that pain on others.
Tidak ada manusia yang sempurna katanya, tentu saja. Kesempurnaan bukan sesuatu yang bisa menjadi kepunyaan manusia, kita melihat satu sama lain dengan cara yang berbeda yang juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Misalnya saja kita menilai seseorang memiliki sifat yang teramat baik bagi sesamanya, mendekati sempurna, anggapan ini disadari atu tidak kadang timbul karena kita belum pernah bertemu manusia sebaik orang tersebut, belum mengalami situasi dimana manusia lain melakukan hal sebaik itu kepada diri kita, sedangkan menurut orang lain yang telah melihat dan megalami banyak hal serupa, kebaikan yang dilakukan manusia kepada manusia lainnya hanyalah salah satu basic human decency dan bukalah suatu kemewahan. Kesempurnaan tak lain hanyalah ilusi, angan-angan yang diciptakan manusia atas hal-hal yang tidak ia miliki.
Manusia bukan salah satu makhluk yang menyandang gelar sempurna di semesta ini. Adakalanya manusia melakukan hal yang jauh dari kata baik dan tidak selaras dengan kata sempurna, bahkan orang terdekat sekalipun. It’s in our nature untuk memiliki kecenderungan percaya bahwa orang-orang terdekat kita merupakan manusia yang memiliki dan mempercayai nilai yang sama, dimana kecenderungan ini juga mendorong kita untuk beranggapan bahwa orang-orang tersebut merupakan orang terbaik diantara manusia lain yang pernah ditemui dan memiliki kemungkinan kecil untuk kita saling menyakiti satu sama lain, caused we’re on the same page, untuk menjadi dekat pun tentunya kita telah melalui banyak situasi dan seleksi. Namun, sekecil apapun kemungkinannya bukan berarti hal tersebut tidak bisa terjadi. Shit happens, dalam suatu waktu ada saatnya orang-orang yang kita kasihi bukanlah korban atas suatu situasi, melainkan pelaku yang menimbulkan rasa sakit pada diri orang lain. Sikap defensif kita akan cenderung memilih untuk tetap mendukung mereka melalui hal tersebut karena:
"just because they did something bad doesn’t mean they’re not a good people, its just horrible situations and vice versa”
Pilhan ini kadang memiliki dampak yang baik jika orang tersebut menyadari situasi yang dialaminya dan dampak apa yang ia timbulkan, serta memiliki kesadaraan bagaimana orang-orang disekelilingnya memberi dukungan untuk ia berusaha memperbaiki diri dan mencegah hal yang sama terjadi lagi. But, some people do take other’s people kindness for granted half of the time, mereka berpikir bahwa apapun yang ia lakukan, seburuk apapun itu, sebanyak apapun itu, orang-orang disekelilingnya akan tetap berada disana sebab mereka saling mengasihi untuk waktu yang cukup lama serta telah melalui banyak hal bersama tanpa menyadari bahwa ini merupakan awal dari mimpi buruk dalam hubungan antar manusia.

Death and the Maiden by Marianne Stokes (circa 1908)
Banyak dari kita pasti seringkali mendengar istilah self-respect berulangkali muncul di berbagai media sosial, orang-orang sibuk menyuarakan betapa pentingnya menghargai diri sendiri, menjaga nilai diri dalam menjalin hubungan antar manusia. Setelah berpikir lebih dalam, self-respect memiliki peran yang cukup penting dalam hubungan antar manusia, banyak kasus toxic relationship bisa diminimalisir apabila sedari awal manusia menanamkan self-respect dalam dirinya.
Seperti kalimat diatas dimana manusia memiliki kecenderungan percaya bahwa orang yang dikasihi merupakan orang yang baik dan bahkan jika mereka “tidak sengaja” melakukan kesalahan maka ia akan tetap mendukung orang tersebut “it’s just a horrible situations and blablabla…….” Tapi bagaimana jika situasi buruk itu datang berulangkali? orang yang kita kasihi melakukan hal buruk dan menimbulkan rasa sakit berulangkali, bukan kepada orang lain namun kepada diri kita, orang yang mereka “kasihi”, what would we do? Are we going to stay with them forever? Sebab orang yang memiliki self-respect tidak akan membiarkan dirinya menerima hal yang tidak sepatutnya, yang tidak layak mereka terima, they know their worth. If the other person can not pay the full prize of their worth and intentions, then they’re not being respected and they’re simply just not compatible to each other, so what they’re going to do with a person that can’t match their energy like that? Its just wasting their time. Go away.
Namun jangankan untuk berpikir apa yang harus kita lakukan, seringkali orang menyaksikan orang-orang yang mereka kasihi melakukan hal buruk kepada siapapun itu cenderung sulit untuk menerima fakta bahwa orang yang selama ini mereka kasihi bukanlah orang baik, meski diri sendiri telah terluka berkali-kali. Mengutip salah satu buku yang pernah ku baca “It’s often easier for someone to believe evil can’t exist inside someone they love, than to admit they’ve failed someone who should be more important”
Seringkali lebih mudah bagi seseorang untuk mempercayai bahwa orang yang mereka kasihi tidak menyimpan kekejian dalam dirinya daripada menyadari bahwa mereka telah gagal melindungi seseorang yang paling penting bagi mereka, dan siapa yang paling penting dalam kehidupan manusia? Diri kita sendiri, seseorang yang harus kita jaga dan kasihi sebelum memutuskan untuk membagi rasa kasih kepada orang lain.
Kita memiliki ketergantungan tidak sehat atas harapan. Jangan salah, memiliki harapan pada dosis yang cukup sangat baik untuk menjaga semangat hidup, namun memiliki pengharapan bahwa keadaan akan membaik dengan orang yang kita kasihi dimana mereka akan menjadi lebih baik, bahkan setelah kita menerima rasa dan perlakuan tidak menyenangkan dari orang yang kita kasihi “berkali kali”, tidakkah tampak terlalu serakah?
They are fully formed adults.
Orang dewasa selayaknya tahu mana yang baik dan tidak
Orang dewasa selayaknya menyadari dampak atas segala pilihan yang mereka buat
Kita harus berhenti mencari-cari alasan atas perbuatan keji orang yang kita kasihi.
Kita harus berhenti mencari-cari alasan untuk diri sendiri tetap berada kubangan yang sama. Tidak ada yang dapat memberi jaminan bahwa dengan tetap memilih bersama mereka, mereka akan memilih untuk tetap bersama kita.
Tidak dipungkiri bahwa pada fase pertama dari delusional....yakni denial, manusia akan cenderung membutakan diri atas fakta-fakta yang ada, meskipun mereka menyadari sebagian fakta tersebut sebagai kebenaran, orang dengan kecenderungan lack of self-respect akan memilih untuk tetap berada di sisi orang-orang yang mereka kasihi (yang juga menimbulkan luka pada mereka). Beberapa orang beralasan karena sulit untuk pergi, beberapa bilang telah melalui banyak hal bersama, beberapa beralasan karena bertemu orang baru tidak menjanjikan mereka akan lebih baik dari ini, dan bahkan ada juga yang berasalan lebih baik bersama mereka yang telah ia ketahui baik dan buruknya dari pada bersama orang asing yang baik buruknya masih menjadi misteri. Kita bisa menyebutnya “Better with the devil you know” logic.
Tidakkah alasan-alasan diatas tampak seperti tipuan untuk diri sendiri?
Jika sulit untuk melepaskan diri dari koneksi dengan orang-orang keji -> Seek help
Jika tetap tinggal karena telah melalui banyak hal bersama -> Tell me how long is it? would you choose to suffer or even dies in a hand of people you love rather than love yourself enough to go get another happiness with someone who truly loves you?
Jika ragu bertemu dengan orang baru -> Are you done meeting the 8+ billions people on earth?. There’s plenty of good good people that wouldn’t lay a hand on you, who’d respect you and put your happiness over theirs.
Jika memilih bersama orang yang secara sadar dan nyata melakukan hal buruk hanya karena telah mengetahui segala sisi buruknya -> It’s not them who hurts you, it’s you. You hurting yourself.
Hidup merupakan perjalanan panjang, kita akan bertemu orang sebanyak kita akan berpisah dengan mereka. Memaksakan kehendak dalam hubungan dengan manusia lain hanya akan menghambat alur hidup kita sendiri.




Komentar