top of page

That "Romanticizing Your Life" Thing

  • Gambar penulis: sweet&sin
    sweet&sin
  • 19 Okt 2022
  • 4 menit membaca

Diperbarui: 29 Mei 2023

Is it romanticizing your life or just egoistically glorifying consumerism?

Setelah melalui kesendirian selama pandemi sepertinya banyak orang-orang yang mulai terbiasa dan mencari cara untuk keluar dari sumpeknya kesepian. Instagram, Youtube, Pinterest, dan media sosial lain juga turut menunjukkan orang-orang dengan keadaan yang hampir serupa. Sendiri, meski ada saja yang berdua, atau bertiga(?).


Orang-orang dengan kegiatan yang itu-itu saja atau orang tanpa kegiatan seperti gue berusaha mencari kesibukan lain yang sekiranya dapat membantu meningkatkan gairah hidup. Yup! Nonton vlogs para social media figures dan scrolling feed Ig mereka saat melakukan aktivitas sangat amat menarik bagi gue selama 2 tahun belakang ini. Bukan tanpa alasan, serangkaian kegiatan orang lain dalam kehidupan mereka terlihat 100 kali lebih menyenangkan dan berwarna dibanding dengan kehidupan gue, dan nampaknya orang-orang lain juga berpandangan serupa. Benar quotes entah dari mana yang sering nongol dimana-mana bahwasanya ā€œrumput tetangga lebih hijau dibanding rumput sendiriā€. Gue dengan begonya mengamini hal ini, sebab depan rumah gue nggak ada rumput dan aspal jalan depan nggak berwarna hijau.


Kurang lebih 2 tahun pandemi Covid membuat kita memiliki banyak waktu untuk merefleksikan kehidupan yang kita jalani. Bukan tanpa alasan, hidup di fase cepat degan tubuh dan pikiran kita yang dipaksa mengimbangi arus dunia tentunya tidak mudah. Gue banyak membaca dan mendengar pendapat orang-orang tentang ini dimana banyak orang mulai mencari cari jawaban dari pertanyaan ā€œapakah kehidupan seperti ini yang mereka inginkan?ā€ bekerja nine-to-five setiap hari selama bertahun-tahun yang tanpa disadari menghabiskan usia, sangat disayangkan sebab tuntutan pekerjaan dengan angkuhnya mencuri-curi kesempatan kita untuk menikmati hidup. Disisi lain, mereka menyaksikan bagaimana para figur-figur di sosial media menjalani idup mereka yang nampak ā€œwahā€, "fantastik", "nomor tiga bikin geleng geleng", hehehe engga gitu juga ding!.

Hidup dalam fase cepat amat melelahkan, tapi berharap dunia sedikit melambat sepertinya terlalu berlebihan.


Selama pandemi dan pasca pandemi membaca buku dan menonton film menjadi hal yang kembali trend di media sosial. Tidak terhitung jumlah akun akun Instagram, Youtube, Tiktok, dan lain sebagainya, yang memfokuskan diri untuk mengunggah konten mengenai buku dan film (rekomendasi buku/film dan reviews mereka). Jangan salah, hal ini mengundang antusias bagi banyak orang, melihat penuhnya kolom komentar dan followers yang mencapai ribuan, termasuk gue. Bukan, gue, gue followersnya aja maksudnya.


Setelah trend membaca buku / menonton film, orang-orang mulai bergerak ke level selanjutnya pada sesi literasi dan efeknya. Membaca rentang kisah karakter dalam ratusan lembar halaman buku tentu menimbulkan beragam efek pada diri, seperti menjadi terinspirasi lalu pada tingkat akhir adalah mengimplementasikan sifat dan sikap karakter tersebut dalam kehidupan kita sendiri.



  • ā€œBe The Main Characterā€

Saat kita menemukan karakter yang memiliki kemiripan dengan kita atau kita sukai, kita gampang sekali menempatkan diri sebagai karakter tersebut. Pembawaan, kehidupan yang mereka jalani, cara berpikir, menilai dan memandang sesuatu terpengaruh oleh bacaan apa yang kita konsumsi. Menggabungkan karakter yang disukai dengan kehidupan kita saat ini nampaknya adalah jalan indah untuk sedikit lebih banyak menikmati hidup di tengah fase cepat dunia, dan ā€œBe the Main Characterā€ adalah salah satu bentuk dari konsep meromantisasi hidup atau biasa disebut ā€œRomanticizing Your Lifeā€.



ree

Paris by Victor G. Gilbert (1847-1933)


The New York Times, mengartikan romanticizing your life sebagai pandangan hidup dimana orang-orang mulai menikmati hidup dengan menghargai hal-hal kecil disekitar kita. sebagian yang lain mengartikan sebagai langkah dimana kita mulai menganggap setiap detik sebagai keajaiban yang patut dihargai dengan cara menjadi the main character, sebab waktu terus bergerak, keinginan hanya sekadar angan jika tidak diamalkan dan mulai mengapresiasi hal-hal kecil di sekeliling kita untuk menemukan kesenangan. Konsep ini tentu sangat menggiurkan bagi banyak orang, termasuk gue.



  • Ways to romanticize your life 101

Cara-cara untuk meromantisasi hidup dimana kita menjadi ā€œThat Main Characterā€ banyak di praktekkan oleh influencer di berbagai media sosial. Bangun pagi dengan pemandangan matahari terbit di jendela gedung apartemen, dilanjutkan dengan merawat diri dengan skincare produksi merek ternama, menyusuri pedestrian dengan bangunan tua yang mengagumkan untuk membeli minuman di kedai-kedai mahal nan artistik, membeli buket besar bunga sebagai bentuk cinta diri sendiri, lalu bersiap mengurangi beban pekerjaan di depan layar komputer, pergi ke department store untuk membeli outfit yang telah dikumpulkan dalam pin Pinterest semalam, dan terakhir makan bersama orang-orang terkasih atau sendiri di restoran klasik berisi chefs dengan topi tinggi sebagai bentuk apresiasi atas kerja kerasnya. Menyenangkan? Memang. Siapa yang tidak tertarik menjalani hidup seperti karakter film atau buku seperti ini? Fokus pada diri sendiri dan menikmati hidup. Menggulung struk pembelian.


But some people gone too far dan kita terbutakan oleh ego ā€œHidup hanya sekali, be the main character!ā€. Stereotype meromantisasi hidup semakin kesini, semakin bergeser ke budaya yang mengkhawatirkan, banyak hal di media sosial yang membuat kita hanya melihat dari perspektif tertentu saja, yang kebanyakan justru cenderung menjurus ke unrealistic, eurocentrism dan hedonism.


So,


Is it romanticizing your life or just egoistically glorifying consumerism?

Disamping itu, banyak dari kita tidak hidup dalam ligkungan yang sama, sebagian dari kita dipaksa keadaan untuk sadar bahwa hal-hal seperti itu ada kalanya tidak sejalan dengan realita. Tidak ada bangun pagi dengan pemandangan matahari terbit sebab jendela berada di sisi yang berbeda, tidak ada skincare mahal sebab gaji harus dibagi, tidak ada cup dengan logo minuman ternama di tangan sebab resiko kesehatan, beberapa bunga liar dan tomat di halaman, menghabiskan waktu didepan layar kaca hingga pening, mengenakan pakaian dengan umur seperempat usia kita, makan sendiri dengan lauk seadanya sebab yang perlu makan tidak hanya kita, dan teman hanya sekedar notifikasi ā€œHai!ā€ belaka.


Bukan berarti saat kita berada di posisi seperti ini tidak dapat mengaplikasikan konsep meromantisasi hidup, jika melihat ke pengertian awal meromantisasi hidup kita punya hak yang sama. Kita punya hak yang sama untuk melihat matahari terbit di belakang rumah, kita punya hak yang sama untuk merawat diri dengan produk ramah lingkungan dan kantong, kita punya hak yang sama untuk meminum minuman yang kita sukai dan baik untuk tubuh, punya hak yang sama melihat bunga di vas meja dan tomat hasil kebun belakang, pusing dengan pekerjaan lalu tertawa pada jokes receh di media, kita punya hak yang sama mengenakan pakaian yang kita inginkan di lemari atau sesekali membeli yang baru sebab yang lama warnanya telah pudar, kita punya hak yang sama berkumpul bersama teman dan menikmati makanan yang tersedia di meja.


Meromantisasi hidup berarti mengapresiasi dan mensyukuri hal-hal baik di sekitar kita.

Meromantisasi hidup berarti kita peduli dengan orang-orang disekitar kita.

Meromantisasi hidup berarti menikmati hidup kita sebagaimana adanya.


Hidup yang hidup.

Ā 
Ā 
Ā 

Postingan Terakhir

Lihat Semua
ā€œWe’re just friendsā€

ā€œI knowā€ I know by the way you see me like you never met someone like me before, the way your eyes lit up every time you watched me...

Ā 
Ā 
Ā 

Komentar


Post: Blog2_Post
bottom of page