top of page

Perihal Menerima

  • Gambar penulis: sweet&sin
    sweet&sin
  • 31 Mei 2023
  • 4 menit membaca

Diperbarui: 3 Jun 2023

“…jangankan dengan Tuhan, mendekatkan diri dengan diri sendiri saja aku takut.” - Syahid Muhammad


Manusia itu makhluk unik dengan segala tingkah laku dan pola berpikirnya yang tidak habis untuk dibahas, salah satunya adalah perihal penerimaan diri. Coba sejenak kita sempatkan untuk bertanya pada diri, sudah seberapa besar penerimaan kita atas segala sesuatu yang sudah ataupun sedang terjadi pada diri kita? Seutuhnya? Separuh? Atau kurang dari itu? Kabar baik (atau mungkin buruknya), kita punya waktu seumur hidup untuk belajar menerima diri.


Seperti yang seringkali orang katakan, hidup tidak hanya perihal senang-senangnya saja, tetapi juga hal-hal lain yang kurang mengenakkan. Pada beberapa kesempatan, kita memutuskan untuk pergi ke tempat-tempat ramai demi menggali sensasi di luar situasi kurang mengenakkan yang sudah atau sedang terjadi dalam hidup. Memperhatikan bagaimana manusia berlalu-lalang dengan kegiatannya masing-masing, bagaimana dunia tetap bergerak saat kita merasa terjebak. Bagi individu-individu dengan kepribadian introvert hal ini tentu cukup menguras energi, tapi sekiranya lebih baik daripada mengurung diri dalam ruangan persegi dan tenggelam dalam pikiran sendiri, yang seringkali suara-suara dalam kepala semakin merunyamkan keadaan. Baik aku maupun kamu sepenuhnya sadar, bahwa ini hanyalah langkah defensif yang diambil untuk lari dari permasalahan, terlebih…lari dari diri sendiri.


Sadar atau tidak, manusia gemar sekali memiliki kontrol atas apapun itu, manusia juga menyukai fakta bahwa ia memiliki kuasa. Kita dengan mudah untuk menerima dan mengakui hal-hal yang berada dibawah kuasa kita, hal-hal yang dapat kita kontrol, dan kekalahan atas situasi yang dihadapi bukanlah salah satunya.



Syahid Muhammad, pada buku “Kamu Gak Sendiri” menceritakan bagaimana respon orang lain saat kita menceritakan perihal kurang menyenangkan yang kadang justru menghadirkan jawaban template, merekomendasikan kita untuk semakin memperpendek jarak dengan sang pencipta.



Tidak, ini tidak salah.


Mendekatkan diri dengan Tuhan dapat menjadi langkah yang sangat baik saat kita sedang pening dengan problema kehidupan yang seakan tidak ada ujungnya, meski akan lebih baik pula kita juga ‘setor muka’ untuk mengucap syukur saat keadaan sedang baik-baik saja. Tapi, adakalanya bukan jawaban seperti itu yang sedang kita cari dan ini tidak menjadikan kita sebagai manusia yang buruk.


“…jangankan dengan Tuhan, mendekatkan diri dengan diri sendiri saja aku takut.”

Demikian kutipan dari buku ‘Kamu Gak Sendiri’ karya Syahid Muhammad. Saat membaca kalimat tersebut, aku sempat terdiam selama beberapa saat, merasa hal ini ada benarnya.



ree

The Confession by Frank Dicksee (1896)



Mengakui dan menerima bahwa “Ya, aku sedang tidak baik-baik saja” atau “Ya, aku merasa gagal” tidaklah mudah, apalagi mengakuinya, kita cukup beruntung bila menemui seorang teman yang memiliki satu kotak kosong dan membiarkan kita mengisinya dengan keresahan kita serta mungkin saja bersedia memberi masukan. Namun, Menyembunyikan hal tersebut dari siapapun, (orang lain, diri sendiri, bahkan Tuhan) masih menjadi opsi yang menggiurkan, tidak ada yang perlu tahu. Dibanding mencari penyelesaian atau motivasi untuk bangkit, kita cenderung sibuk lari dari diri sendiri, berharap dengan menyembunyikan dan tidak membiarkan siapapun tahu (termasuk diri sendiri) akan membuat perasaan tidak mengenakan itu ikut pergi, ini merupakan salah satu wujud dari keengganan pengakuan dan penerimaan diri, keengganan mengakui apa yang sebenarnya terjadi sebab jika kita memutuskan untuk tinggal dan mengambil waktu sejenak untuk menemani diri sendiri, kita seolah merasa dipaksa menerima jejalan fakta tersebut. Kita seringkali lupa bahwa rasa sedih, gagal atau kalah itu ada dan nyata. Lupa untuk membebaskan diri mengeksplorasi rasa-rasa lain yang dapat manusia rasakan.

Butuh keberanian besar untuk sendiri saat situasi yang kita miliki sedang kurang mengenakkan, dan butuh keberanian yang lebih besar lagi untuk mau mengakui bahwa kita tidak sepenuhnya senang dengan keadaan ini, bahkan pada diri sendiri.



Ada masanya dimana aku tidak sepenuhnya menerima apa-apa yang sudah atau sedang terjadi di hidupku, tidak sepenuhnya menerima perasaan tidak mengenakkan yang sedang mencerca batin. Aku mencoba mengalihkannya dengan pergi kemanapun, melakukan apapapun hanya untuk tidak mengakui keberadaanya, tidak merasakannya….dan tidak sendiri. Aku terlalu sibuk menyabotase kepala dengan menciptakan gambaran-gambaran idealis bagaimana hidupku berjalan “sebagaimana mestinya” bahagia. Aku memutuskan untuk buta dan tuli pada diri sendiri pun dengan sang Pencipta. Ada rasa takut apabila aku mencoba mendengarkan dan melihat diriku yang sedang tidak dalam keadaan baik, aku akan merasa lebih buruk, ada rasa takut untuk menangkupkan tangan kepada pemilik semesta dan meminta pertolongan justru aku akan dihukum dengan realitas-realitas yang lebih mengerikan. Hingga pada suatu hari, aku merasa pelarian yang kujalani terasa salah, aku memang dikelilingi banyak orang, tapi justru semakin merasa sendiri, dan aku tidak punya siapapun bahkan diriku (yang sebelumnya kuacuhkan). Kesenangan-kesenangan yang ku akui terasa semakin semu, dan aku mulai jenuh dengan kehidupan.


Aku ingin pulang.


Tapi apa atau siapa yang bisa aku tuju? Tidak ada tempat pulang, aku harus terus lari mencari keramaian untukku “tetap” baik-baik saja sampai petang berganti fajar, satu-persatu teman mulai sibuk dengan kewajiban masing-masing sedang aku- entahlah. Aku akui, sejauh apapun aku sembunyi, seramai apapun tempat yang aku tuju, aku tetap tidak bisa sepenuhnya memalingkan muka pada realitasku.



Aku lelah.



Raga yang jenuh mulai dihantam kesadaran bahwa dengan segala sabotase diri yang aku lakukan, kesedihan atau kegagalan dihari lalu masih bercokol di benakku, aku mulai belajar melihatnya. Selain kesenangan, aku juga perlu belajar untuk merayakan kesedihan, kekalahan-apapun itu, aku perlu belajar bahwa disaat keramaian mulai berganti senyap, tidak ada siapapun selain diriku sendiri (yang sebelumnya sibuk kuhindari) serta realita yang terjadi pada hidupku, melarikan diri tidak membuatku merasa lebih baik, ia menjadikanku pengecut.


Aku bukan pengecut dan aku tidak mau menjadi pengecut

setidaknya terhadap diriku sendiri.


Sepertihalnya yang sedang ku lakukan saat menulis ini atau tulisan lain di blogku, mencoba merayakan apapun yang sedang terjadi di hidupku, apapun yang sedang aku rasakan. Rasa malu atau takut akan komentar orang awalnya sedikit membuat niatku berbagi perspektif melalui tulisan sedikit goyah, tapi keinginan untuk bisa membuat orang yang relate dengan ceritaku merasa tenang dan tidak sendiri, lebih besar dari rasa takut atau rasa malu akan pandangan orang lain. Terus berusaha membuat apa yang ku sampaikan menjadi selimut hangat saat mereka butuh pelukan, atau menjadi kalimat yang tidak dapat mereka temukan saat ingin mengatakan suatu hal.


Sedang Tuhan, aku juga perlu belajar percaya, toh apapun sudah digariskan hingga mautku datang.

 
 
 

Postingan Terakhir

Lihat Semua
“We’re just friends”

“I know” I know by the way you see me like you never met someone like me before, the way your eyes lit up every time you watched me...

 
 
 

Komentar


Post: Blog2_Post
bottom of page