ME!: Introvert during Social Distancing
- sweet&sin

- 13 Apr 2020
- 5 menit membaca
Diperbarui: 26 Jun 2022
What happened to the introverted souls during social distancing

The Fecamp Pier in Heavy Weather by Claude Monet (1881)
Hai!
It’s been a while, right? Jadi, apa kabar?
Kalo gue disini lagi berusaha tetap baik-baik saja. Gue harap lo lo juga lagi dalam kondisi baik yang beneran baik.
Oke, gue rasa udah cukup basa-basinya. Kali ini gue mau sedikit cerita, kalo lagi nggak sibuk baca sampe abis ya! Mungkin ada sebagian dari ini yang relate sama kalian saat ini.
Well, I hate being too social
Gue rasa ini bukan lagi hal baru buat lo yang pernah baca tulisan gue sebelumnya. Dan buat kalian, pembaca baru mungkin ini agak aneh cz “tf kita lagi social distancing sekarang”. But, who knows?. Awalnya social distancing yang diikuti dengan ‘work from home’ bikin gue seneng setengah mampus karena sebagai anak kos, gue bisa pulang dan nggak lagi kudu mikir ‘ntar beli makan apaan? Atau bapak yang biasa keliling komplek pake masker warna apa ntar malem?’ dan yang paling penting gue nggak perlu lagi mikir dosa harian karena mulut gue keseringan nyampah sama temen-temen di kampus. Gue-nggak-perlu-lagi-mikirin-itu.
Bahagia? Banget dong!
Tapi emang takdir lagi seneng-senengnya becanda ama gue. Saat gue lagi nyaman-nyamannya sama ekspektasi, seketika itu juga gue merasa bener-bener ditabok oleh tangan tak kasat mata (moga aja bukan tangan setan) yang bikin gue sadar. Penetapan social distancing yang diikuti dengan ultimatum ‘work from home’ nggak lantas meminimalisir keharusan gue untuk terbuka dan bersosialisasi, justru sebaliknya. Social distancing bikin gue merasa too social, gue harus membuka diri, menerima banyak hal, dan gue kudu ngadepin situasi yang selama ini selalu bikin gue nggak nyaman. Daannn, dibawah ini gue akan jelasin hal-hal yang bikin gue kurang nyaman saat social distancing/self-quarantine/work from home-belajar dirumah, apapun itu
1. Jadwal berantakan
Gue tahu ini bukan hanya permasalahan gue, tapi juga banyak orang meski nggak lagi dalam situasi maraknya Covid-19. But, gue adalah tipikal orang yang selalu ngatur waktu gue, selalu ada jadwal terencana untuk tiap aktivitas yang gue lakuin. Tapi, dengan ultimatum work from home yang mana bagi mahasiswa ini berarti ‘Belajar dirumah’ , bikin semua yang gue rencanakan ambyar, kaya kisah elu. Hehehe, Canda!. Balik serius, jadi gue lagi aneh nih sekarang, karena semua orang terlihat menjengkelkan buat gue, mereka selalu bisa bikin gue kelabakan ngatur waktu. Misalnya saja komunikasi, orang-orang terlihat nggak lagi peduli waktu untuk mencoba membuka obrolan/berdiskusi. Man! kita emang seharian ada di rumah, nggak lantas berarti kita punya 24/7 untuk ngeladenin ajakan ngobrol semua orang. Lalu kuliah, ada nih sedikit keresahan dari gue mengenai kuliah. Jadwal kuliah sebenernya sudah ditentukan sejak awal bukan? Lantas timbul keresahan pada diri gue kenapa dengan adanya ‘belajar di rumah’ ini malah bikin jadwal kuliah semakin sering maju mundur kaya incess? ya, gue pengen tau aja, karena dari sisi gue sebagai mahasiswa, ini bikin gue susah buat claim waktu istirahat. Gue selalu menyiapkan mental diri gue untuk jadwal yang akan gue lakuin selanjutnya, tapi dengan pergantian jadwal yang seringkali tiba-tiba, bikin gue kelabakan nyiapin energi buat aktivitas yang nggak seharusnya gue lakuin hari itu atau esok harinya. My brain need a dang rest.
2. I hate being on Z**m
Selama maraknya pandemi memang hampir segala macam pertemuan dilaksanakan melalui media-media online. Sekaip, gugel duwo, soom, dan aplikasi-aplikasi penunjang terlihatnya wajah secara live lainnya. Sebagai seorang introvert yang namanya tatap muka nggak selalu mudah. Gue nggak menyalahkan ini pada siapapun, oke?. Tatap muka secara online memang lebih simple. But, mau tatap muka secara langsung maupun lewat aplikasi sama aja, sama-sama sebisa mungkin gue hindari. Terlebih jika dilakukan dengan sering dan dengan durasi yang cukup lama. Hal ini bikin gue kudu natap wajah banyak orang lebih sering dari biasanya, gue harus mendengarkan banyak orang lebih dari biasanya, dan gue harus menguras lebih banyak energi dari biasanya. Ini rasanya bikin gue mabok, tapi gue kudu berusaha tetap waras dan pasang muka bae bae di layar.
3. Something weird
Belakangan ini, gue juga menyadari kalau there’s something weird happened to me, ada yang nggak beres sama gue dan itu semakin parah saat gue lagi mode work from home a.k.a belajar dirumah. Khawatir dan merasa rendah diri sudah biasa gue alami, tapi kali ini terasa lebih dari biasanya. Gue mulai mencemaskan hal-hal sepele seperti melihat notifikasi ponsel dipagi hari. Dalam kondisi seperti ini kebanyakan orang mengandalkan ponsel untuk dapat terkoneksi dengan semua informasi, gue pun demikian. Gue harus sering-sering ngecek notifikasi ponsel agar gue nggak ketinggalan informasi yang entah tugas, ataupun pengumuman lain yang memang harus gue lihat. Dan ‘keharusan’ ini entah kenapa menjadi terror tersendiri buat gue. Kecemasan dan rasa takut gue semakin menjadi. Muncul kecemasan kalau semisal ada hal buruk yang akan gue ketahui begitu gue melihat ponsel. Jadi, gue perlu menenangkan diri gue sendiri sebelum berani nyentuh ponsel. It’s stupid right? But that’s trully happened. Gue pikir kecemasan gue akan berhenti begitu gue nggak menemukan kabar buruk apapun dari ponsel, tapi ternyata nggak. Kekhawatiran itu mengurung gue sepanjang waktu dan terlalu nyata untuk gue bilang halu. That dang terror are ruins my life. Tapi tiap orang juga pasti punya kenyataan yang harus mereka hadapi. Dan, ya inilah kenyataan gue.
So, that’s it. Meski demikian, gue juga setuju banget dengan adanya penetapan sosial distancing yang diikuti dengan work from home demi keselamatan banyak orang. But, I think, the problem are not about the policy, but the people.
Hal lucu yang gue rasain ketika social distancing adalah orang-orang yang kemarin hanya bertatap muka dengan kita sesekali dalam seminggu, kini menjadi lebih sering mengajak kita untuk bersosialisasi melalui media sosial daring. Dang! It’s drained my energy. We don’t need to be that close, just be you and I’ll be me. Then, I’ll be thank you for it.
Di kondisi seperti ini, gue rasa kita perlu mengambil langkah dengan mengklaim waktu untuk istirahat, jika tidak demikian kita akan semakin merasa semua orang mencoba bikin kita jadi robot yang harus on 24/7. Mungkin kita nggak bisa ‘menyelamatkan diri’ dari jadwal-jadwal kuliah, sekolah, kerjaan atau kewajiban lain. Tapi, gue rasa kita bisa ambil sedikit waktu lebih untuk istirahat dengan sedikit menunda hal yang kurang urgent, dan pakai waktu itu untuk bener-bener istirahat. Untuk saat ini yang lagi musim virus, keseluruhan diri lo-mental dan fisik- adalah prioritas utama. Gue hanya bisa bilang, kita harus tetap waras untuk bisa survive dan melaksanakan kewajiban-kewajiban kita selanjutnya. Gue tau, bukan gue aja yang butuh istirahat, lo juga.
The world are tryin to beat it’s condition, and you have to beat your dang condition too.
For my dear introvert and extrovert friends, please try to save your time by telling your friends that you’re not always available for them. itu juga salah satu yang bikin kalian nggak bisa istirahat kan? So, take a rest, sebisa mungkin ambil waktu untuk istirahat yang bener-bener istirahat. Just laying down and play some good music, take a deep breath, close your eyes, then.
And for me “Turn your fuckin’ phone off”.
Ok, bye-




Komentar