top of page

Agama dan Cinta

  • Gambar penulis: sweet&sin
    sweet&sin
  • 17 Jun 2021
  • 6 menit membaca

Diperbarui: 26 Jun 2022

"Kalau ada yang kurang pas, baiknya diingatkan. Bukan ditinggalkan"





Halo, makhluk Tuhan! Hiyaaa

Hehehe, beneran dah dari kemaren gue bingung kudu bikin intro yang gimana biar rada asik gitu. Tapi mendung di kota tempat gue berada saat ini gak membantu gue lebih bersemangat dan jadi lebih asik….melow, iya.


Didepan laptop bertemankan rentetan nada dari lagu berjudul Blue milik Capacities malah bikin gue pingin mewek. Keliatan pas aja, mendung-mendung, mewek pake backsound lagu galau, meski hidup gue lagi lempeng-lempeng aja. Duh!.


Gue kali ini mau sharing hal yang kayanya belum pernah gue sentil sama sekali di tulisan-tulisan gue yang lain. Agama….dan cinta.


Ngeri juga kan?

Tapi gue seneng. Hehehe…


Asli! Gue berasa dewasa banget pas mau bahas ginian. Seriusan! Gatau, kaya gue seneng aja.


Jadi gini, sekitar seminggu yang lalu, gue ketemu teman lama. Tahu sendiri kan, kalau ketemu teman lama bawaannya kaya hebring mampus. Dan ya, kita membicarakan beragam hal, dari Pluto, Venus, agama, romansa, hingga primbon jawa. Semua dibabat habis dalam satu malam kamis. Ngeri juga kalau diingat-ingat lagi. Dari beragam obrolan itu, ada satu pertanyaan yang entah kenapa nyangkut banget di kepala sampai gue gak bisa tidur.


“Apa agama menjadi indikator penting dalam mencari partner hidup?”


Pertama kali gue denger pertanyaan itu, otak gue beneran ngelag abis, kaya android jadul. Didetik itu, gue bingung dengan kebingungan gue sendiri, dan butuh beberapa waktu untuk menjawab dengan kata paling simple sedunia:


“Ha?”


Detik selanjutnya sebuah geplakan tangan mampir di bahu gue.


Dan setelah mengulang pertanyaan tersebut, “Iya” kata gue.


Karena gamau pusing sendiri guepun balik tanya ke temen gue “Kalau lo?” dan diapun memiliki jawaban yang sama dengan gue. kemudian, mengalirlah beberapa kisah hidup epic milik temen gue. Kenapa gue bilang epic? Gue gak pernah ada diposisi seheboh dia dalam persoalan romansa.


Setelah melalui pembicaraan panjang kali lebar layaknya rumus matematika, di sini gue dapat kesimpulan, bahwa dari dua kepala ada dua pemikiran yang cenderung kontras. Diluar nilai benar-salah, gue dan dia tahu bahwa tujuan kita sama….untuk menemui bahagia.


Dia bilang bahwa mencari partner untuk hidup, latar belakang keluarga dan agama menjadi hal paling krusial yang perlu diketahui dan diseleksi secara mantap. Bukan maksudnya muluk-muluk nyari anak sultan atau bahkan sultannya langsung, tapi penilaian ada dititik apakah dia baik terhadap keluarga yang dia miliki. Mengenai masa lalu keluarga, agaknya kurang pantas dipertanyakan sebab sepertinya, manusia dewasa masa kini (termasuk temen gue) sepakat bahwa yang lalu adalah milik masa lalu. Tidak perlu dipertanyakan atau dicari-cari sebab kita tidak lagi hidup disana. Poin selanjutnya adalah….agama. Seperti umat beriman pada umumnya, seiman adalah kunci. Tapi disamping itu, sosok manusia yang sedari awal taat beribadah adalah hal yang paling dicari oleh temen gue. Dia enggan untuk membuka diri pada sosok lain yang kurang dari standart keagamaan yang ia miliki. Seakan-akan "Kalau lo belum menemukan Tuhan dalam diri lo, itu tanggung jawab lo sendiri. Gue ogah joinan. Pusing". Si temen gue ini mengagumi sosok yang sedari awal memiliki kemampuan menjaga hubungannya dengan Tuhan. Diluar benar atau salah, it’s her life, dan dia memiliki hak mutlak atas keputusan-keputusan itu. Dan gue yakin diluar sana juga banyak cowok-cewek yang berpikiran demikian.


Tapi disisi lain, lo ketemu gue yang punya pemikiran yang….yah (emang rada slengekan) dibilang mirip tapi beda, dibilang beda tapi enggak juga. Haiss, mendung bikin logika gue ngajak sendu-sendu mulu. Huh!.


Jadi, kalau ditanya mengenai indikator partner hidup gue nanti, gue hanya menjawab dengan dua kata sederhana:


Seiman dan toleransi (beneran dah gue ngerasa udah gede banget kalau diajak bahas ginian).


Meski gue gak tau gue akan menikah atau gak. Otak gue untuk saat ini hanya menyimpan dua kata itu. Balik lagi keatas, seiman adalah kunci. Meski gue gak alim-alim banget, gue juga gak mau merepotkan diri untuk membuat kehidupan seseorang rumit untuk memilih Tuhannya atau Tuhan gue (Iya-iya, Tuhan memang satu. Kita yang tak sama~). Gue bukan ahlinya untuk menilai benar dan salah. Tapi, dari segala perbedaan yang ada, gue beprinsip ‘Tuhankan Tuhanmu, dan biarkan gue menTuhankan Tuhan guethat’s it. Disisi lain, gue juga gak mau bikin keluarga gue heboh ngalur ngidul gegara anaknya yang (balik lagi) gak alim-alim banget malah bikin repot, mana bawa anak orang juga.


Persoalah seiman, gue gak mau muluk-muluk dulu. Eits! tunggu, gak muluk-muluk bukan berarti gue juga mau-mau aja sama yang jiwa metal setengah Dajjal gitu, gue masih suka dengan orang yang punya punya hubungan baik dengan Tuhan, dan mampu menjaga hubungan baik itu dalam kesehariannya….misalnya rajin sholat lima waktu, tepat waktu, dan shaf nomor satu (hasil rebutan ama bapak-bapak yang rumahnya sebelah masjid). Tapi di satu sisi, gue gak mau munafik, kalau dihadapkan dengan orang yang gak seperti itu, gue juga harus menentukan sikap.


Dimasa kini, orang yang alim-taat-patuh pada Tuhan emang banyak, tapi yang gak sealim itu-setaat itu-sepatuh itu juga gak kurang, termasuk gue (?) Canda!. Mungkin, pada suatu waktu gue jatuh dan cinta (Hiya!) dengan orang tipe nyleneh ini, Who knows?. Jika sampai demikian, gue rasa gue gak mau lari seperti saran temen gue.


Gue mengibaratkan orang yang alim ini sebagai golongan orang yang beruntung dalam menemui titik terang atau kebenaran dalam hidupnya. Dan orang yang tidak demikian, bukan berarti orang yang kurang beruntung. Mereka hanya sedang berada di jalur lain dan berdiam diri disana untuk waktu yang lama, sampai menemui jalan-jalan selanjutnya. Saat lo menemui orang demikian, masa lo mau kabur begitu aja? Contoh kecilnya-sholat, kewajiban umat muslim sedunia. Misal teman dekat lo, gebetan lo, pacar lo, atau siapapun itu gak melaksanakan sholat, lantas malah lo tinggalin-balik arah dan ngacir kaya ngeliat setan?. Padahal di buku agama dan Pkn dari SD sampai SMA , meski diri sendiri gak alim-alim amat hal pertama yang harus dilakukan saat melihat orang lain tidak menjalankan kewajibannya adalah….mengingatkan, kemudian mengajak. Bukannya meninggalkan. Mirip-mirip kata senjaboi:


"Kalau ada yang kurang pas baiknya dibicarakan, diingatkan. Bukannya ditinggal"



ree

Andrew Wyeth (1917)


Meski dulu nilai pelajaran agama dan Pkn gue cenderung mepet KKM, tapi gue masih ingat beberapa hal sederhana yang diajarkan. Balik lagi, jadi dalam kondisi ini, Mengingatkan kemudian mengajak disini tidak serta merta “Ayo sholat. Lo tau kan kalau gak sholat itu berdosa?”. Tapi lebih ke hal-hal kecil, kita bisa membantu dengan menyisipkan nilai-nilai keagamaan dan keTuhanan dalam kegiatan sehari-hari (racuni dia semaksimal mungkin!) hingga ia terbiasa dengan melibatkan Tuhan dalam kegiatan paling sederhana. Bisa juga jadi bahan modus mampus ke calon gebetan, beneran. Nih contohnya:

Saat dia-yang kurang alim (kaya gue) ini susah tidur, lo bisa mengingatkan (sekaligus mengajak) dengan kalimat “Lo bisa baca al-fatihah atau istighfar 7 kali dulu. Itu salah satu obat tidur paling manjur. Mau baca sama-sama?”. Hehe….Atau saat sebelum makan lo bisa mengingatkan untuk baca basmallah. Sesimple itu.


(Disclaimer: Gue muslim, jadi gue pakai contoh ajaran dalam agama gue ya)


Gue tahu, lo akan menilai gue sebagai orang paling naif dimuka bumi. Tapi yang namanya niat baik, apakah gak patut dicoba?. Dan gue rasa, dengan menyisipkan nilai-nilai keagaamaan dan keTuhanan dalam berbagai kesempatan dalam kegiatan sederhana sehari-hari ini akan lebih mudah diingat dan melekat dari pada ajakan to the point yang gak sedikit justru menyinggung perasaan. Gue tahu, gue paham, gue comprehend kalau gak semua orang akan menerima niat baik tapi terselubung kita. Tapi balik lagi keatas, cinta….kalau si yang-lo-ajak ini memang udah mentok banget ke lo, dia bakal bersedia menerima lo dengan segala rules yang lo ikuti, toh lo gak ngajak ke hal yang merugikan….toleransi.


Lanjut ke indikator gue yang kedua, toleransi. Toleransi dimasa kini masih menjadi hal mahal, gak cuma dikota-kota hidup yang penuh dengan manusia-manusia mati, bahkan di daerah kecilpun toleransi kadang sulit ditemui. Seperti yang sudah kita ketahui, kita adaah manusia, setiap kepala punya cara berpikir yang kadang mirip-gak begitu mirip (tapi boleh dicoba. Hehe!)-atau bahkan yang kontras banget. Agaknya akan sangat sulit menemui yang bener-bener sama. Dan dalam urusan mencari partner/teman hidup, kita perlu untuk sedikit mengendurkan ego.


Partner hidup-hidup bersama-komitmen.


Kita mencari partner/teman hidup untuk menjalin komitmen. Komitmen diibaratkan sebagai suatu rumah, yang isinya ada diri kita dan satu orang lagi. Karena cara berpikir tiap kepala cenderung gak sama, yang dibutuhkan adalah toleransi. Kita yang bersedia memahami cara berpikir partner kita, dan dia yang mau menyelami cara berpikir kita, untuk bekerja sama dan tumbuh bersama mencapai kehidupan yang baik. Kadang perbedaan gak perlu muluk-muluk diperdebatkan, cukup dibicarakan berdua-diterima/dikoreksi bersama. Sebab ini rumah kita, nyaman atau tidaknya (menurut gue) semua tergantung kerjasama penuh cinta di dalamnya.




Udah ya, gue meriang.




Eits! Gak bosan-bosan gue mengingatkan bahwa kalau lo butuh teman ngobrol untuk dishare di page sweet&sin atau sekedar ngobrol secara pribadi sama gue, gue akan menyediakan waktu sebanyak yang lo mau. Sambil beli es kopi juga bisa. Dah!.






 
 
 

Komentar


Post: Blog2_Post
bottom of page