top of page

Hal-Hal Sebelum Melepaskan

  • Gambar penulis: sweet&sin
    sweet&sin
  • 13 Feb 2021
  • 3 menit membaca

Diperbarui: 26 Jun 2022

Hai, Kiwi!!


Hai! Anggap saja saya sedang bertatap muka denganmu saat ini. That’s sounds idiot, right?. Tidak apa-apa, menemuimu juga bukan hal yang mudah untuk saya lakukan. Tentu saja, masih tidak memiliki cukup keberanian seperti bertahun-tahun lalu. Sedikit senang, rupanya ada juga hal yang tidak berubah dari diri saya.


Ada sekerumun rasa ‘wah’ mengingat bahwa sudah lama sekali. Masih ingat bagaimana kita seringkali tanpa sengaja bertemu (dahulu)? sungguh menggelikan :). Terkadang ingatan itu juga membuat saya tertawa. Bagaimana konyolnya saya ketika bertemu denganmu. Hal itu terjadi sudah lama ternyata. Lama sekali.


Tersadar, saya dan kamu tidak pernah benar-benar ‘berteman’. Kita bahkan tidak pernah betatap muka lalu berbicara! Astaga! saya bahkan tidak tahu bagaimana suaramu terdengar.....terlalu sibuk melihatmu dari jarak terjauh yang saya bisa dan merelakan hal yang mungkin dapat saya peroleh dengan mengambil beberapa langkah untuk mendekat. Saya melewatkannya.

Biar saya beri tahu, bagaimanapun kamu dan saya di masa itu, saya suka apapun yang sudah pernah saya lalui karenamu. Saya suka debaran ketika mendengar namamu menggema dari mulut orang-orang di sekitar saya, saya terlalu suka menemukan kamu diseberang koridor bangunan tua itu. Tidak lupa, saya juga suka sekali dengan senyum kecil yang terulas dibibirmu saat melihat saya tergopoh-gopoh melarikan diri atau bersembunyi dari tangkapan netramu. Saya bisa bertahan selama bertahun-tahun lamanya hanya dengan itu.


Saya menunggumu lama sekali. Saya kira saya bisa menunggu lebih lama lagi, atau ‘mungkin‘ saya bisa menunggu. Tapi, waktu tidak bisa menunggu, kan? seiring berjalannya waktu, kamu ataupun saya akan pergi dan menemui orang-orang baru. Kala itu saya berpikir “Ah! saya menyukaimu dengan bebas, kamu sama sekali tidak memiliki ikatan tanggungjawab apapun pada saya, termasuk menyukai sebanyak yang saya lakukan padamu. Kamu bisa kemanapun dan saya pun bisa kemana saja dengan membawa rasa suka cita saya padamu sampai di satu titik kamu akan berbalik dan tahu.....saya selalu disana” Haha…saya menutup mata.


Dulu, saya teramat jutek, katanya. Saya amini juga. Apalagi ketika berpapasan denganmu, segala hal di diri saya sulit saya kendalikan termasuk ekspresi. Sial, saya nampak jahat sekali. Tidak pernah sekalipun membalas senyum darimu apalagi nampak ramah dihadapanmu. Tapi saya yakin bahwa kamu tahu kebenarannya. Saya berdebar.



ree

The Garden of Adonis by John Dickson Batten (1887)


Sekali lagi ya,


Hai, Kiwi! Saya suka senyummu dikoridor hijau itu!. Saya suka bergegas menuju tempat parkir sekolah dan berlama-lama menunggumu lewat barang sebentar, saya suka menyaksikan kamu berada dipanggung dan memainkan gitar untuk lagu-lagu sedih yang dinyanyikan salah seorang temanmu yang memiliki nama seperti tokoh pewayangan itu, meski suara miliknya tidak begitu memuaskan. Haha.... Oh, iya, saya suka ketika kamu mengenakan kemeja hitam seperti waktu itu terlebih ketika netra coklat itu menangkap saya..... lalu tersenyum.

Saya terperangkap.


Sungguh, melihatmu dari jarak ini teramat cukup. Menurut mata saya yang minus ini, kamu selalu nampak mengagumkan.


Meski disisimu tidak lagi ruang kosong.


Setidaknya, senyummu masih milikku.



Tapi, menyukaimu dengan cara itu ternyata menyakiti saya. Saya dibunuh perasaan berdebar-debar akan banyak hal. Keputusan saya untuk tidak masuk ke dalam kehidupanmu lebih jauh juga menyiksa saya. Melihatmu dari sudut sini dengan rasa tertahan sungguh luar biasa menyedihkan. Kamu memang kerapkali tersenyum pada saya dan sialnya mata coklat itu seperti enggan melepaskan saya , bahkan ketika kamu sedang ber-ah sudahlah. Saya tidak tahu apa maksudmu. Tapi saya bukan dia, saya tidak memiliki tempat seperti dia dalam keseharianmu.

Saya ingin seperti dia. Saya harus lebih baik dari dia. Saya kira itu salah satu cara menuju hal membahagiakan.


Kamu bahagia saya.

Buruknya, rasa suka saya sudah teramat besar dan membutakan, saya lupa pada diri saya sendiri, saya tidak mengenal diri saya sendiri. Dunia saya tentang kamu saja (serta rasa dipecundangi karena kalah berkali-kali) sungguh tidak adil bagi raga yang saya tempati. Dewasa ini, saya kira itu salah. Sangat salah. Untuk bahagia, rasa senang perlu terlebih dahulu mengakar dari diri saya sendiri bukan dari orang lain, kamu-salah satunya. Jadi, saya tidak mau lagi menutup mata, saya harus tahu bahwa sedari awal saya tidak sepenuhnya senang seperti ini dan saya harus mengerti bahwa saya sudah kalah berkali-kali. Saya tidak mau lagi.


Saya tidak mau lagi menggenggam keinginan saya atas kamu.



Kiwi! saya berhenti ya.



Harus lepas dari hal-hal yang tidak ingin saya lepas adalah perasaan paling buruk, saya akui. Saya kesulitan berusaha lupa dari hal-hal mengenaimu yang masih saja saya tahan di kepala. Tahun ini, tahun ke-lima dari hari terakhir kita berjumpa, nyatanya saya bisa hidup baik-baik saja. Itu kabar baik. Saya ingin suatu waktu, hanya mengingat hal-hal baik tentangmu, dan sekarang saya sudah mampu.


Ah! sudahlah. Saya menuliskan ini bukan untuk mencuri perhatianmu. Sama sekali tidak. Saya ingin kamu tahu, saya baik-baik saja.


Saya sangat berterimakasih atas apapun yang terjadi pada saya setelah bertemu kamu. Saya banyak belajar......... saya bahagia.



Tapi, apa kamu bahagia?






Please, jangan ketawa atau mual. Gue nulis ini sambil senyum. Biarkan gue bahagia dengan postingan yang temen gue pasti bilang 'konyol' ini. Dah ah, ngapa jadi kepikiran?!.

 
 
 

Postingan Terakhir

Lihat Semua
Sri Tanjung

Selepas maghrib, dihadapan bapak tua berkemeja biru. Menilik kesudut atas bagian kanan, air conditioner sedang sibuk-sibuknya menghela O2...

 
 
 
Blue

Aku bosan membicarakan beban-beban yang sedang singgah dipundakku-pundakmu. Aku buta syukur karenanya. Hidup yang kurang hidup. Aku bosan...

 
 
 

Komentar


Post: Blog2_Post
bottom of page